Tayangan halaman minggu lalu

Kamis, 19 April 2012

Kutitip surat ini untuk mu (surat ibu kepada putranya) oleh: Ust. Armen Halim Naro Lc. Rahimahullohu Ta'ala

Kutitip Surat ini untuk mu
Surat seorang ibu kepada putranya.
Oleh: Ust. Armen Halim Naro Lc. Rahimahullohu Ta'ala

"orang tua pintu surga yang di tengah 'sekiranya engkau mau, maka sia-siakan lah pintu itu atau jagalah!" (Hr.Ahmad)


Kutitip surat ini, anakku! 
Nanda yang  kusayangi, di bumi Allah Ta’ala…
Segala  puji    ibu   panjatkan   ke hadirat    Allah   yang   telah   memudahkan  Ibu   untuk   beribadah  kepada-Nya. Shalawat serta  salam Ibu sampaikan  kepada   Nabi   Muhammad   shallallahu’alaihi wasallam,Keluarga dan para sahabatnya Amiin…
Wahai anakku...
Surat ini datang dari ibumu yang selalu dirundung sengsara… Setelah berpikir panjang Ibumencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri. Setiap kali menulis, setiap itu pula goresan tulisan terhalangi oleh tangis,dan setiap kali menitikkan air mata setiap itu pula hati terluka… 
Wahai anakku...
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa,laki-laki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau remas kertas ini lalu engkau merobeknya, sebagaimana sebulumnya engkau telah remas hatiku dan telah engkau robek pula perasaanku.
Wahai anakku...


25 tahun  telah berlalu, dan  tahun-tahun  itu    merupakan  tahun kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan tentang kehamilanku dan semua   ibu sangat mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalamdiri ini sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi. Semenjak kabargembira tersebut aku membawamu 9 bulan, tidur, berdiri, makan dan bernafas dalamkesulitan. Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu,bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.
Aku memandangmu, wahai anakku! Pada kondisi lemah di atas lemah, bersamaan denganitu aku begitu gembira tatkala merasakan tendangan kakimu atau geliat badanmu dalamperutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku, karena semakin hari semakinbertambah berat perutku, berarti engkau sehat wal afiat dalam rahimku.
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat itu, ketika fajar padamalam itu, yang aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Akumerasakan sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan.

Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku tidak lagi dapat menangis. Sebanyak itupula aku melihat kematian menari-nari dipelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkaukeluar ke dunia.
Engkaupun lahir… Tangisku bercampur dengan tangismu, air mata kebahagiaan senantiasamenetes dalam keharuan dan kebahagiaan. Dengan itu semua, sirna semua keletihan dankesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku kepadamu semakinbertambah dengan bertambah kuatnya rasa sakit. Aku raih dirimu sebelum aku meraih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air yang ada dikerongkonganku.
Wahai anakku… 
Telah berlalu tahun dari usiamu. Aku membawamu dengan hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati hidupku kuberikankepadamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, berlatih demi kebahagiaanmu.

Harapanku pada setiap harinya; agar aku melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiapsaat adalah celotehmu dalam meminta sesuatu, agar aku berbuat sesuatu untukmu…Itulah kebahagiaanku!
Kemudian, berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun bergantitahun. Selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai, menjadidayangmu yang tidak pernah berhenti, dan menjadi pekerjamu yang tidak pernahmengenal lelah serta mendoakan selalu kebaikan dan taufiq untukmu. Aku selalumemperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yangtegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis telah menghiasi wajahmu, telahmenambah ketampananmu. Tatkala itu aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan demimencari pasangan hidupmu.
Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu. Saat itu pulahatiku mulai serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagiatelah bercampur dengan duka, tangis telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia karenaengkau mendapatkan pasangan dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku...

Waktu berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat. Kiranya setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam.Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam seperti batuyang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran. Akubenar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah melupakanku dan melupakanhakku.Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu. Detik demi detikkuhitung demi mendengarkan suaramu. Akan tetapi penantian kurasakan sangat panjang.Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk melihat dan menanti kedatanganmu. Setiap kaliberderit pintu aku manyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu.Akan tetapi, semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia dan harapanku hancur berkeping,yang ada hanya keputusasaan. Yang tersisa hanyalah kesedihan dari semua keletihanyang selama ini kurasakan. Sambil menangisi diri dan nasib yang memang telahditakdirkan oleh-Nya.

 Anakku...
ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih kepadamu yangbukan-bukan. Yang Ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu.Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga akumenatap wajahmu, agar Ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.Dan Ibu memohon kepadamu, Nak !
Janganlah engkau memasang jerat permusuhandenganku, jangan engkau buang wajahmu ketika Ibu hendak memandang wajahmu!
 
Yang Ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu,agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana sekalipun hanya satu detik. Jangan jadikania sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi, atau sekiranya terpaksaengkau datangi sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.

Anakku...
telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku, karena badanku telahdimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit… Berdiri seharusnya dipapah, dudukpunseharusnya dibopong, sekalipun begitucintaku kepadamu masih seperti dulu… Masih seperti lautan yang tidak pernah kering.Masih seperti angin yang tidakpernah berhenti.Sekiranya engakau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan balaskebaikannya dengan kebaikan setimpal. Sedangkan kepada ibumu… Manabalasbudimu,nak!?
Mana balasan baikmu! Bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air susu serupa?!
Akan tetapi kenapa nak !?

Susu yang Ibu berikan engkau balas dengan tuba. BukankahAllah ta’ala telah berfirman,
 “Bukankah balasan kebaikan kecuali dengan kebaikan pula?!” (QS. Ar Rahman: 60)
Sampai begitu keraskah hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu?! Setelah berlalunyahari dan berselangnya waktu?!

Wahai anakku...
setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiapitu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak, engkau adalah buah dari keduatanganku, engkaulah hasil dari keletihanku. Engkaulah laba dari semua usahaku! Kiranyadosa apa yang telah kuperbuat sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?!Pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama bergaul denganmu, ataupernahkah akuberbuat lalai dalam melayanimu?Terus, jika tidak demikian, sulitkah bagimu menjadikan statusku sebagai budak danpembantu yang paling hinadari sekian banyak pembantumu . Semua mereka telah mendapatkan upahnya!? Mana upah yang layak untukku wahai anakku!..

Dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan kebesaranmu?Dapatkahengkau menganugerahkan sedikit kasih sayangmu demi mengobati derita orang tua yangmalang ini? SedangkanAllah ta’ala mencintai orang yang berbuat baik.

Wahai anakku!! Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.

Wahai anakku! Hatiku teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat.Orang-orang sering mengatakan bahwa engkau seorang laki-laki supel, dermawan, danberbudi.

Anakku… 
Tidak tersentuhkah hatimu terhadap seorang wanita tua yang lemah, tidakterenyuhkah jiwamumelihat orang tua yang telah renta ini, ia binasa dimakan oleh rindu, berselimutkan

kesedihan dan berpakaian kedukaan!? Bukan karena apa-apa?! Akan tetapi hanya karenaengkau telah berhasil mengalirkan air matanya… Hanya karena engkau telahmembalasnya dengan luka di hatinya… hanya karena engkau telah pandai menikamdirinya dengan belati durhakamu tepat menghujam jantungnya… hanya karena engkautelah berhasil pula memutuskan tali silaturrahim?!

Wahai anakku...
ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka titilah jembatan itumenujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, pemaafan dan balas budiyang baik. Semoga aku bertemu denganmu di sana dengan kasih sayang Allah ta’ala,sebagaimana dalam hadits:
 “Orang tua adalah pintu surga yang di tengah. Sekiranya engkau mau, maka sia-siakanlah pintuitu atau jagalah!!” (HR. Ahmad)

Anakku...
Aku sangat mengenalmu, tahu sifat dan akhlakmu. Semenjak engkau telahberanjak dewasa saat itu pulatamak dan labamu kepada pahala dan surga begitu tinggi. Engkau selalu bercerita tentangkeutamaan shalat berjamaah dan shaf pertama. Engkau selalu berniat untuk berinfak danbersedekah.Akan tetapi,
anakku! Mungkin ada satu hadits yang terlupakan olehmu! Satu keutamaanbesar yang terlalaikan olehmu yaitu bahwa Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihiwa sallam, “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling mulia? Beliau bersabda: “Shalat padawaktunya”, aku berkata: “Kemudian apa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Berbakti kepadakedua orang tua”, dan aku berkata: “Kemudian, wahai Rasulullah!” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah”, lalu beliau diam. Sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya.(Muttafaqun ‘alaih)

Wahai anakku!!... Ini aku, pahalamu, tanpa engkau bersusah payah untuk memerdekakanbudak atau berletih dalam berinfak. Pernahkah engkau mendengar cerita seorang ayahyang telah meninggalkan keluarga dan anak-anaknya dan berangkat jauh dari negerinyauntuk mencari tambang emas?! Setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, kiranya yangia bawa pulang hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia telah gagal dalam usahanya.Setibanya di rumah, orang tersebut tidak lagi melihat gubuk reotnya, tetapi yangdilihatnya adalah sebuah perusahaan tambang emas yang besar. Berletih mencari emas dinegeri orang kiranya, di sebelah gubuk reotnya orang mendirikan tambang emas.Begitulah perumpamaanmu dengan kebaikan. Engkau berletih mencari pahala, engkautelah beramal banyak, tapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang mahabesar. Di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu.Bukankah ridhoku adalah keridhoan Allah ta’ala, dan murkaku adalah kemurkaan-Nya?

Anakku,... yang aku cemaskan terhadapmu, yang aku takutkan bahwa jangan-janganengkaulah yang dimaksudkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
 “Merugilah seseorang, merugilah seseorang, merugilah seseorang”, dikatakan, “Siapa dia,wahaiRasulullah?, Rasulullah menjawab, “Orang yang mendapatkan kedua ayah ibunya ketika tua,dan tidak memasukkannya ke surga”. (HR. Muslim)

Anakku… Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak adukan duka inikepada Allah, karena sekiranya keluhan ini telah membumbung menembus awan,melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada dokter yang dapatmenyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya,
Nak !Bagaimana aku akanmelakukannya sedangkan engkau adalah jantung hatiku… Bagaimanaibumu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit sedangkan engkau adalah pelipurlaraku. Bagaimana Ibutega melihatmu merana terkena do’a mustajab, padahal engkau bagiku adalahkebahagiaan hidupku.

Bangunlah Nak!...
Uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa hingga engkau akan menjaditua pula, dan al jaza’ min jinsil amal… “Engkau akan memetik sesuai dengan apa yangengkau tanam…” Aku tidak ingin engkau nantinya menulis surat yang sama kepada anak-anakmu, engkau tulis dengan air matamu sebagaimana aku menulisnya dengan air mataitu pula kepadamu.

Wahai anakku... 
bertaqwalah kepada Allah pada ibumu, peganglah kakinya!! Sesungguhnya surga di kakinya. Basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya, kencangkan tulangring kihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk.
Anakku... 
Setelah engkau membacasurat ini,terserah padamu! Apakah engkau sadar dan akan kembali atau engkau inginmerobeknya...




Wassalam,
Ibumu

Mp3 nya bisa di Dowload di Sini


Dikutip kembali oleh : Abul fida' 
di malam yang sunyi
berbah indah, Yogyakarta 03:30 AM  20/04-2012

Sumber: http://www.scribd.com/averozika/d/78280425-Kutitip-Surat-Ini-Untukmu-Ustadz-Armen-Halim-Naro