Surat seorang ibu kepada putranya.
Oleh: Ust. Armen Halim Naro Lc. Rahimahullohu Ta'ala
"orang tua pintu surga yang di tengah 'sekiranya engkau mau, maka sia-siakan lah pintu itu atau jagalah!" (Hr.Ahmad)
Kutitip
surat ini, anakku!
Nanda
yang kusayangi, di bumi Allah Ta’ala…
Segala
puji ibu panjatkan ke hadirat
Allah yang telah memudahkan Ibu
untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat serta salam Ibu
sampaikan kepada Nabi Muhammad
shallallahu’alaihi wasallam,Keluarga
dan para sahabatnya Amiin…
Wahai
anakku...
Surat
ini datang dari ibumu yang selalu dirundung sengsara… Setelah berpikir panjang
Ibumencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa
malu menyelimuti diri. Setiap kali menulis, setiap itu pula goresan tulisan
terhalangi oleh tangis,dan setiap kali menitikkan air mata setiap itu pula hati
terluka…
Wahai
anakku...
Sepanjang
masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki
dewasa,laki-laki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau pantas membaca tulisan
ini, sekalipun nantinya engkau remas kertas ini lalu engkau merobeknya,
sebagaimana sebulumnya engkau telah remas hatiku dan telah engkau robek pula
perasaanku.
Wahai
anakku...
…25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan tentang kehamilanku dan semua ibu sangat mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalamdiri ini sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi. Semenjak kabargembira tersebut aku membawamu 9 bulan, tidur, berdiri, makan dan bernafas dalamkesulitan. Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu,bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.
Aku memandangmu, wahai anakku! Pada kondisi lemah di atas lemah,
bersamaan denganitu aku begitu gembira tatkala merasakan tendangan kakimu atau
geliat badanmu dalamperutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku,
karena semakin hari semakinbertambah berat perutku, berarti engkau sehat wal
afiat dalam rahimku.
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat itu, ketika fajar padamalam itu, yang aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Akumerasakan sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan.
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat itu, ketika fajar padamalam itu, yang aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Akumerasakan sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu terus berlanjut
sehingga membuatku tidak lagi dapat menangis. Sebanyak itupula aku melihat
kematian menari-nari dipelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkaukeluar ke
dunia.
Engkaupun lahir… Tangisku bercampur dengan tangismu, air
mata kebahagiaan senantiasamenetes dalam keharuan dan kebahagiaan. Dengan itu
semua, sirna semua keletihan dankesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan,
bahkan kasihku kepadamu semakinbertambah dengan bertambah kuatnya rasa sakit.
Aku raih dirimu sebelum aku meraih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum
meneguk satu tetes air yang ada dikerongkonganku.
Wahai anakku…
Telah berlalu tahun dari usiamu. Aku membawamu dengan
hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati hidupku
kuberikankepadamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, berlatih demi kebahagiaanmu.
Harapanku pada setiap harinya; agar aku melihat senyumanmu. Kebahagiaanku
setiapsaat adalah celotehmu dalam meminta sesuatu, agar aku berbuat sesuatu
untukmu…Itulah kebahagiaanku!
Kemudian, berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan,
dan tahun bergantitahun. Selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu yang tidak
pernah lalai, menjadidayangmu yang tidak pernah berhenti, dan menjadi pekerjamu
yang tidak pernahmengenal lelah serta mendoakan selalu kebaikan dan taufiq
untukmu. Aku selalumemperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi
dewasa. Badanmu yangtegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis telah
menghiasi wajahmu, telahmenambah ketampananmu. Tatkala itu aku mulai melirik ke
kiri dan ke kanan demimencari pasangan hidupmu.
Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu.
Saat itu pulahatiku mulai serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa
rasanya hati ini. Bahagiatelah bercampur dengan duka, tangis telah bercampur
pula dengan tawa. Bahagia karenaengkau mendapatkan pasangan dan sedih karena
engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku...
Waktu berlalu
seakan-akan aku menyeretnya dengan berat. Kiranya setelah perkawinan itu aku
tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka
dan kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh
kegelapan malam.Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah
tenggelam seperti batuyang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan
dedaunan yang berguguran. Akubenar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau
telah melupakanku dan melupakanhakku.Terasa
lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu. Detik demi
detikkuhitung demi mendengarkan suaramu. Akan tetapi penantian kurasakan sangat
panjang.Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk melihat dan menanti
kedatanganmu. Setiap kaliberderit pintu aku manyangka bahwa engkaulah orang
yang datang itu.Akan tetapi, semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia dan
harapanku hancur berkeping,yang ada hanya keputusasaan. Yang tersisa hanyalah
kesedihan dari semua keletihanyang selama ini kurasakan. Sambil menangisi diri
dan nasib yang memang telahditakdirkan oleh-Nya.
Anakku...
ibumu ini tidaklah
meminta banyak, dan tidaklah menagih kepadamu yangbukan-bukan. Yang Ibu pinta,
jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu.Jadikanlah ibumu yang malang
ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga akumenatap wajahmu, agar Ibu
teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.Dan Ibu memohon kepadamu, Nak !
Janganlah engkau
memasang jerat permusuhandenganku, jangan engkau buang wajahmu ketika Ibu hendak memandang wajahmu!
Yang Ibu tagih
kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu,agar engkau
dapat sekali-kali singgah ke sana sekalipun hanya satu detik. Jangan jadikania
sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi, atau sekiranya
terpaksaengkau datangi sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu
pergi.
Anakku...
telah bungkuk pula
punggungku. Bergemetar tanganku, karena badanku telahdimakan oleh usia dan
digerogoti oleh penyakit… Berdiri seharusnya dipapah, dudukpunseharusnya
dibopong, sekalipun begitucintaku kepadamu masih seperti dulu… Masih seperti
lautan yang tidak pernah kering.Masih seperti angin yang tidakpernah
berhenti.Sekiranya engakau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya
engkau akan balaskebaikannya dengan kebaikan setimpal. Sedangkan kepada ibumu…
Manabalasbudimu,nak!?
Mana balasan baikmu!
Bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air susu serupa?!
Akan tetapi kenapa nak !?
Susu yang Ibu
berikan engkau balas dengan tuba. BukankahAllah ta’ala telah berfirman,
“Bukankah
balasan kebaikan kecuali dengan kebaikan pula?!” (QS. Ar Rahman: 60)
Sampai begitu keraskah
hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu?! Setelah berlalunyahari dan
berselangnya waktu?!
Wahai anakku...
setiap kali aku
mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiapitu pula bertambah
kebahagiaanku. Bagaimana tidak, engkau adalah buah dari keduatanganku,
engkaulah hasil dari keletihanku. Engkaulah laba dari semua usahaku!
Kiranyadosa apa yang telah kuperbuat sehingga engkau jadikan diriku musuh
bebuyutanmu?!Pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama bergaul
denganmu, ataupernahkah akuberbuat lalai dalam melayanimu?Terus, jika tidak
demikian, sulitkah bagimu menjadikan statusku sebagai budak danpembantu yang paling hinadari sekian
banyak pembantumu . Semua mereka telah mendapatkan upahnya!? Mana upah yang layak untukku wahai anakku!..
Dapatkah engkau
berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan
kebesaranmu?Dapatkahengkau menganugerahkan sedikit kasih sayangmu demi
mengobati derita orang tua yangmalang ini? SedangkanAllah ta’ala mencintai
orang yang berbuat baik.
Wahai anakku!! Aku hanya ingin
melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.
Wahai anakku! Hatiku teriris, air
mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat.Orang-orang sering mengatakan
bahwa engkau seorang laki-laki supel, dermawan, danberbudi.
Anakku…
Tidak tersentuhkah
hatimu terhadap seorang wanita tua yang lemah, tidakterenyuhkah jiwamumelihat
orang tua yang telah renta ini, ia binasa dimakan oleh rindu, berselimutkan
kesedihan dan
berpakaian kedukaan!? Bukan karena apa-apa?! Akan tetapi hanya karenaengkau
telah berhasil mengalirkan air matanya… Hanya karena engkau telahmembalasnya
dengan luka di hatinya… hanya karena engkau telah pandai menikamdirinya dengan
belati durhakamu tepat menghujam jantungnya… hanya karena engkautelah berhasil
pula memutuskan tali silaturrahim?!
Wahai anakku...
ibumu inilah
sebenarnya pintu surga bagimu. Maka titilah jembatan itumenujunya, lewatilah
jalannya dengan senyuman yang manis, pemaafan dan balas budiyang baik. Semoga
aku bertemu denganmu di sana dengan kasih sayang Allah ta’ala,sebagaimana dalam
hadits:
“Orang tua
adalah pintu surga yang di tengah. Sekiranya engkau mau, maka sia-siakanlah
pintuitu atau jagalah!!” (HR. Ahmad)
Anakku...
Aku sangat
mengenalmu, tahu sifat dan akhlakmu. Semenjak engkau telahberanjak dewasa saat
itu pulatamak dan labamu kepada pahala dan surga begitu tinggi. Engkau selalu
bercerita tentangkeutamaan shalat berjamaah dan shaf pertama. Engkau selalu
berniat untuk berinfak danbersedekah.Akan tetapi,
anakku! Mungkin ada satu
hadits yang terlupakan olehmu! Satu keutamaanbesar yang terlalaikan olehmu
yaitu bahwa Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
Dari Ibnu Mas’ud
radhiallahu ‘anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihiwa
sallam, “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling mulia? Beliau bersabda: “Shalat
padawaktunya”, aku berkata: “Kemudian apa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda:
“Berbakti kepadakedua orang tua”, dan aku berkata: “Kemudian, wahai
Rasulullah!” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah”, lalu beliau diam.
Sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya.(Muttafaqun
‘alaih)
Wahai anakku!!... Ini aku, pahalamu,
tanpa engkau bersusah payah untuk memerdekakanbudak atau berletih dalam
berinfak. Pernahkah engkau mendengar cerita seorang ayahyang telah meninggalkan
keluarga dan anak-anaknya dan berangkat jauh dari negerinyauntuk mencari
tambang emas?! Setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, kiranya yangia bawa
pulang hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia telah gagal dalam
usahanya.Setibanya di rumah, orang tersebut tidak lagi melihat gubuk reotnya,
tetapi yangdilihatnya adalah sebuah perusahaan tambang emas yang besar. Berletih
mencari emas dinegeri orang kiranya, di sebelah gubuk reotnya orang mendirikan
tambang emas.Begitulah perumpamaanmu dengan kebaikan. Engkau berletih mencari
pahala, engkautelah beramal banyak, tapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada
pahala yang mahabesar. Di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau
mempercepat amalmu.Bukankah ridhoku adalah keridhoan Allah ta’ala, dan murkaku
adalah kemurkaan-Nya?
Anakku,... yang aku cemaskan
terhadapmu, yang aku takutkan bahwa jangan-janganengkaulah yang dimaksudkan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
“Merugilah
seseorang, merugilah seseorang, merugilah seseorang”, dikatakan, “Siapa
dia,wahaiRasulullah?, Rasulullah menjawab, “Orang yang mendapatkan kedua ayah
ibunya ketika tua,dan tidak memasukkannya ke surga”. (HR. Muslim)
Anakku… Aku tidak akan
angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak adukan duka inikepada Allah, karena
sekiranya keluhan ini telah membumbung menembus awan,melewati pintu-pintu
langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan
kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada
dokter yang dapatmenyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya,
Nak !Bagaimana aku akanmelakukannya
sedangkan engkau adalah jantung hatiku… Bagaimanaibumu ini kuat menengadahkan
tangannya ke langit sedangkan engkau adalah pelipurlaraku. Bagaimana Ibutega
melihatmu merana terkena do’a mustajab, padahal engkau bagiku adalahkebahagiaan
hidupku.
Bangunlah Nak!...
Uban sudah mulai
merambat di kepalamu. Akan berlalu masa hingga engkau akan menjaditua pula, dan
al jaza’ min jinsil amal… “Engkau akan memetik sesuai dengan apa yangengkau
tanam…” Aku tidak ingin engkau nantinya menulis surat yang sama kepada
anak-anakmu, engkau tulis dengan air matamu sebagaimana aku menulisnya dengan
air mataitu pula kepadamu.
Wahai anakku...
bertaqwalah kepada
Allah pada ibumu, peganglah kakinya!! Sesungguhnya surga di kakinya. Basuhlah
air matanya, balurlah kesedihannya, kencangkan tulangring kihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk.
Anakku...
Setelah engkau
membacasurat ini,terserah padamu! Apakah engkau sadar dan akan kembali atau
engkau inginmerobeknya...
Wassalam,
Ibumu
Mp3 nya bisa di Dowload di Sini
Dikutip kembali oleh : Abul fida'
di malam yang sunyi
berbah indah, Yogyakarta 03:30 AM 20/04-2012
Sumber: http://www.scribd.com/averozika/d/78280425-Kutitip-Surat-Ini-Untukmu-Ustadz-Armen-Halim-Naro